Minggu, 22 November 2015


TUGAS MENULIS OPINI DENGAN BERDASARKAN TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL

1.Soft Power : Untuk Mengambalikan Harga Diri Bangsa

            Dalam mengkaji dan menganalisis perkembangan internasional, apalagi dalam menganalisis prilaku politik luar negri negara-negara adidaya seperti AS, Cina atau Rusia, kerap muncul istilah soft power . Apakah sesungguhnya soft power?

Konsep ini mulai dipopulerkan oleh pakar politik AS Joseph S Nye sejak 1980 melalui dua bukunya, Bound to lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002).
Namun Nye mulai mendalami secara lebih serius dan rinci konsep Soft Power ini melalui bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics. Melalui bukunya ini, Nye mengartikan Soft Power sebagai Kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yaitu kemampuan memikat dan mengkooptasi (menyenangkan hati) pihak lain agar rela melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.
Lebih lanjut Nye mengatakan bahwa soft power suatu negaraterdapat terutama dalam tiga sumber: Kebudayaan, Nilai-Nilai Politik, dan Kebijakan luar negerinya.Dalam pandagan Nye, soft power sejatinya merupakan kooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah dan dilakukan secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai-nilai, kebudayaan, institusi, kebijaksanaan, pendidikan, olah raga, aset ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain.

Sementara hard power bergantung pada kekuatan militer, diplomasi koersif, atau sanksi. Oleh karena itu hard power lebih cenderung mengakibatkan perlawanan ketimbang soft power.Sebagai sebuah konsep yang selama ini mewarnai kebijakan luar negeri AS disamping hard power, pandangan Nye rasanya perlu kita kritisi juga. Keberatan saya bukan pada pengertian soft power itu sendiri, tapi dari segi motivasinya. Karena dalam pandangan Nye, terkesan jika AS menerapkan Soft Power, langkah politik Negeri Paman Sam itu secara moral lebih bisa dibenarkan dibandingkan pendekatan Hard Power.

Padahal kedua-duanya, didasari tujuan dan motivasi yang sama, yaitu menjajah dan menguasai hajat hidup negara-negara yang jadi sasarannya.Maka dari itu, saya agak terganggung dengan pidato Presiden SBY pada 2005 lalu di depan para peserta US-Indonesia Society (USINDO) selang beberapa bulan setelah dilantik jadi Presiden RI. Menurut SBY, negara-negara dunia, termasuk AS, sebaiknya mengembangkan soft power ketimbang hard power
Seakan hendak memberi pesan kepada para pembuat kebijakan luar negeri dan strategi global AS, silahkan saja menjajah dan menguasai Indonesia selama menerapkan pendekatan Soft Power.Padahal, pada kenyataannya soft power yang diterapkan AS di Indonesia, sudah terbukti daya rusaknya sejak era akhir 1960-an. Seperti keluarnya UU Penanaman Modal No 1 tahun 1967 yang mengizinkan pihak swasta asing menguasai 90 persen saham sektor-sektor strategis di Indonesia. Keluarnya UU Migas No 22 tahuin 2001 yang telah melumpukan Pertamina sebagai pemegang kewenangan dalam mengurus tata kelola migas di Indonesia, jelas merupakan produk dari soft power AS.
Seharusnya wacana yang kita kembangkan dalam membahas soft power adalah, apa yang bisa kita gali dan kembangkan dari konsepsi Nye maupun pengembangan lebih jauh dari konsep ini, agar kita bisa mengenali kekuatan dan keunggulan bangsa kita baik dari segi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan Pertahanan-Keamanan. Untuk pada perkembangannya kemudian, konsepsi soft power ini bisa kita jadikan landasan untuk melancarkan kontra skema dan preemtive strike terhadap bangsa-bangsa asing yang bermaksud menjajah dan menguasai hajat hidup bangsa kita baik secara material maupun immaterial.
Dengan begitu, ke depan Indonesia tidak hanya mengamati dan menelaah atau meneropong dunia internasional. Melainkan juga menyusun sebuah kekuatan gagasan untuk menulis, memahami, menyadari serta menganalisis sejarah dunia. Bahkan, membuat sejarah dunia baru dengan menyusun beberapa skenariio sebagai landasan pemerintah menyusun kebijakan strategis dalam politik luar negeri.
Pada tataran ini, konsepsi Nye mengenai tiga sumber yang menjadi tumpuan pendekatan soft power (kebudayaan, nilai-nilai dan kebijakan luar negeri) bisa kita jadikan dasar untuk menjabarkan kepentingan nasional kita secara lebih nyata dan rinci.Dengan begitu, soft power yang kita kembangkan tidak dalam kerangka melayani kepentingan-kepentingna negara-negara adidaya, melainkan justru untuk melancarkan kontra skema atas rencana-rencana tersembunyi mereka.Karena di era pemerintahan SBY, nampak jelas bahwa politik luar negeri kita sama sekali tidak menerapkan soft power maupun hard power, karena tujuan dan arah kebijakan luar negeri kita tidak jelas.
Padahal dalam menyusun strategi global maupun kebijakan luar negeri, seharusnya mengintegrasikan tiga faktor yang bertaut satu sama lain alias bersenyawa: Faktor Strategis, Faktor Ekonomi dan Faktor Budaya. Tanpa mempertautkan tiga faktor ini, strategi global dan kebijakan luar negeri suatu negara jadi omong kosong belaka.Saat ini, Indonesia sudah waktunya untuk memainkan pendekatan soft power dalam ikut serta memainkan peran strategisnya di dunia internasional, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Dan kita, punya beberapa keunggulan geopolitik yang sebenarnya tak tergantikan oleh negara-negara lain: 
1.      Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia. 
2.      Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia 
3.      Negara keempat terbesar di dunia 
4.      Pendiri dan Pelopor Solidaritas Asia-Afrika dan Gerakan NonBlok 
5.      Motor Penggerak dan mitra senior negara-negara ASEAN. 
6.      Memiliki kekayaan sumberdaya alam maupun khazanah budaya dan intelektual.
Saya kira melalui kekuatan dan keunggulan kita inilah, soft power sebagai landasan untuk menyusun strategi global Indonesia sudah bisa kita mulai.







2.Terorisme Sebagai Non-State Actor dalam Study Hubungan Internasional
Aktor non-negara (non-state actor) merupakan suatu aktor yang memiliki peranan penting dalam studi Hubungan Internasional (HI). Walaupun aktor non-negara ini hanya diakui oleh orang-orang berpandangan liberalis dan sebagian lainnya merupakan neo-realis, hal tersebut tidak menyebabkan peranan aktor non-negara menjadi hilang ditengah-tengah eksistensi negara yang menurut orang-orang realis berperan sebagai peran tunggal dalam HI. Semua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang masing-masing yang diambil oleh para ahli dalam melakukan observasi mengenai peran-peran dalam HI.
Namun ditengah globalisasi yang menjangkit masyarakat abad 21 ini, saya cenderung setuju terhadap pandangan orang-orang liberal mengenai eksistensi aktor non-negara dalam HI. Globalisasi sendiri menurut Beck (2000 dalam Global Politics) merupakan proses dimana negara-bangsa yang berdaulat menjadi simpang siur dan kacau karena aktor transnasional dengan bermacam-macam kemungkinan power, orientasi, identitas dan jaringan. Pengertian tersebut telah menunjukkan bahwa globalisasi adalah suatu serangan terhadap eksistensi negara sebagai peran utama oleh aktor transnasional yang dalam hal ini adalah aktor non-negara.
Aktor non-negara terdiri dari bermacam jenis, seperti Transnational Corporations (TNCs), Multinational Corporations (MNC), Non-Govermental Organizations (NGOs), International-Govermental Organizations (INGOs), organisasi teroris dan maupun kelompok kejahatan transnasional. Jenis-jenis tersebut merupakan aktor non-negara yang mainstream dibahas dalam literatur-literatur HI.
kelompok dan organisasi teroris merupakan salah satu aktor non-negara yang cukup menggemparkan dunia internasional pada kejadian 11 September 2001. Walaupun sebenarnya kejadian-kejadian teroris sudah ada semenjak Revolusi Perancis dimana Robespierre pada masa kepemimpinannya telah membunuh sekitar 40.000 orang-orang yang menentang revolusi. Atau jika kita ingin memajukan waktu ke depan sedikit maka kita akan menemui Black Hand, sebuah organisasi nasionalis di Serbia yang menyebabkan perang dunia pertama meledak karena tindakan terorismenya dengan membunuh Franz Ferdinand, keponakan Raja Austria pada saat itu.
Terorisme sejatinya didefinisikan sebagai bentuk kekerasan politik yang mengincar dan mencapai tujuan melalui dengan cara-cara menciptakan ketakutan dan keprihatinan (Goodin 2006 dalam Global Politics). Terorisme sejatinya merupakan konsep yang buram. Kebanyakan merupakan sebuah justifikasi moral terhadap suatu tindakan yang menyebabkan ketakutan karena berlawanan dengan nilai-nilai seorang justifikator. Misalnya, orang Amerika menyebut tindakan Al Qaeda sebagai tindakan terorisme ketika mengebom gedung WTC pada kejadian 9/11. Hal tersebut terjadi karena orang Amerika merasa bahwa pengeboman itu merupakan sesuatu yang memunculkan ketakutan dengan cara tidak wajar (tiba-tiba melakukan serangan tanpa ada motif yang jelas, berbeda jika kondisinya adalah perang) dan bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Di lain pihak, Al Qaeda  menganggap bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang benar karena sesuai dengan konsep jihad yang diajarkan –walaupun sebenarnya Islam tidak mengajarkan apa yang Al Qaeda lakukan– oleh agama mereka.
Apa yang Al Qaeda lakukan ternyata mendapatkan respon keras dari Presiden Amerika saat itu, George W. Bush yang menyatakan bahwa mereka sedang berada pada “perang melawan terorisme.” Istilah yang digunakan Bush banyak dikritik oleh para ahli termasuk Andrew Heywood, karena terorisme bukanlah musuh yang memiliki wujud nyata, seperti misalnya negara, organisasi ataupun seorang individu. Tapi bukanlah hal tersebut yang akan kita bahas, melainkan bagaimana aktor non-negara seperti kelompok teroris dapat membuat negara melakukan kebijakan yang signifikan, seperti halnya setelah itu Bush kemudian memerintahkan tentaranya untuk menyerbu Irak. Walaupun banyak faktor lainnya mengapa Irak harus diserbu, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa gerakan terorisme dapat mempengaruhi negara, bahkan dapat menyerang kedaulatan negara. Contohnya saja IS yang kemudian dapat menguasai ladang-ladang minyak dan bank di Irak. Sampai saat ini bahkan dengan persenjataan yang lebih mumpuni, negara-negara yang berkoalisi dalam melawan IS masih belum bisa meniadakan atau menghancurkan IS. Jika melihat fenomena tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa kelompok teroris ternyata memiliki kekuatan seperti negara.
Pada akhirnya kita tidak dapat meremehkan aktor non-negara dalam HI karena peran yang dilakukan dapat mempengaruhi banyak hal terhadap peran utama HI, yaitu negara. Kelompok teroris kini menjadi salah satu aktor non-negara yang signifikan sehingga tidak dapat diabaikan dalam studi Hubungan Internasional.



           
3.Membaca Krisis Yaman dari Perspektif Geopolitik dan Kawasan
Yaman di tengah gempuran militer Arab Saudi dan aliansi Gulf Cooperation Council (GCC) atau Dewan Kerjasama Teluk, termasuk ada militer Sudan di dalamnya, juga Mesir, ada Maroko, dll bahkan Israel, ibarat menembak target sasaran yang bergerak. Artinya, akurasi telaah pasti cenderung bergerak, nisbi, atau relatif. Apalagi jika pisau analisa hanya berbasis atas konflik antarmazhab, atau pertikaian aliran dalam agama (Islam), kemungkinan kadar akurasinya jauh dari harapan, mengingat konflik apapun di muka bumi terutama konflik berskala besar sifatnya hanya “tema” belaka, karena niscaya tersimpan hidden agenda serta bercokol “skema” lain yang hendak ditancapkan. All warfare is deception, kata Sun Tzu. “Semua perang adalah tipuan.” Namun kendati sebatas tema tipuan Skala krisis di Yaman bukanlah konflik mikro yang dapat diselesaikan melalui perjanjian damai, rekonsiliasi, atau islah, namun konflik dimaksud memiliki dimensi makro (geopolitik, geostrategi dan geoekonomi) oleh karena terkait hegemoni superpower dan niscaya tersirat kepentingan para adidaya. Nah, tulisan ini coba mem-breakdown perang tersebut dari perspektif geopolitik dan kawasan,

Bahwa kawasan sebagai keadaan atau kondisi statis merupakan kepingan puzzle agar kajian tidak meluas kemana-mana, selain perilaku geopolitik (para adidaya) kerapkali memetakan (mapping) kawasan sebagai obyek atau sasaran kolonialisme. Dan kawasan itu sendiri, dalam perspektif hegemoni adidaya juga sering ditempatkan sebagai pijakan bagi geostrategi dalam rangka menguasai kawasan-kawasan lain (geoekonomi). Inilah kemasan kolonialisme di muka bumi.

Sedangkan alasan kenapa geopolitik dijadikan pisau bedah menguak peristiwa ini, memang ia lazim digunakan oleh kalangan global review sebab sifatnya multi dimensi, lintas ilmu, serta mampu menguak hal tersirat daripada yang tersurat, ataupun dapat melihat latar ‘mengapa krisis terjadi’ bukannya sebatas pada kajian ‘apa yang tengah terjadi’.Tak ada maksud menggurui siapapun dalam kajian ini selain sharing wawasan (bukan cuma kedalaman) semata. Bila ada perbedaan perdapat baik arti, maksud dan makna, mohon dimaklumi. Artinya bila ditemui perbedaan nantinya, anggap sebagai kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam untuk mengurai kebenaran sesungguhnya, bukan malah timbul syak wasangka, dan sebagainya apalagi sampai memunculkan rasa saling curiga. Inilah uraiannya secara garis besar lagi sederhana.

Yaman adalah negeri kaya minyak dan emas, namun hingga kini rakyatnya miskin,Karena yang mengeruk keuntungan justru perusahaan-perusaan asing yang mengelola sumberdaya alam (SDA)-nya.” Inilah data dan fakta riil. Sama dengan Indonesia. Berulang ganti elit kekuasaan dalam beberapa dasawarsa pun tidak mampu membuat rakyatnya berdaya, tak jua bangkit dari kemiskinan.

Dalam “Musim Semi Arab” atau Arab Spring era 2011-an kemarin misalnya, Yaman pun kembali bergolak sehingga Ali Abdullah Saleh terjungkal dari kepresidenan lalu digantikan Mansour Hadi, si “boneka” asing dan pro Barat. Tidak boleh dipungkiri memang, fenomena Kebangkitan Islam tampaknya bersemi di tengah Musim Semi Arab itu sendiri. Di tengah geliat aksi massa, rakyat tidak cuma meminta ganti rezim, tetapi juga ingin ganti sistem, dsb. Itulah tampak luar atas ruh Kebangkitan Islam.
Peperangan asimetris atau populer disebut asymmetric warfare bertajuk Arab Spring dalam model gerakan massa yang digelar oleh Barat (Amerika/AS dan sekutu) di Jalur Sutera ---akibat Kebangkitan Islam--- menjadi out of control (lepas kendali). Di Mesir misalnya, Mohamad Morsi yang mengganti Hosni Mobarak meski riil buah dari gerakan massa (demokrasi) ala Barat, akhirnya toh didongkel oleh junta militer pimpinan Jenderal al Sisi. Agaknya hal serupa terjadi di Yaman, karena Mansour Hadi ---si boneka Barat--- seperti halnya Morsi di Mesir, ia pun dijatuhkan dari kekuasaan oleh milisi atau pasukan al Houthi.Milisi al Houthi sebenarnya (dianggap rakyat) bukan pemberontak di Yaman meski media-media mainstrem menyebutnya pemberontak, kenapa? Bahwa cap dan stigma ‘pemberontak’ terhadap al Houthi, lebih disebabkan faktor berseberangan (‘ideologi’) dengan Arab Saudi, si ketua GCC. Ya, al Houthi bermazhab syiah, sementara Arab Saudi merupakan rezim wahabi dan sunni. Namun di luar pertikaian tersurat sekali lagi, “tema”di atas permukaan tadi (entah antara syiah versus sunni, atau wahabi versus non wahabi dsb), al Houthi didukung oleh para pemilih syah di Yaman.

Secara fisik, bahwa antara al Sisi di Mesir dengan al Houthi di Yaman ada ‘kesamaan nasib politik’ karena keduanya adalah side effect (dampak samping) atas Kebangkitan Islam yang mengakibatkan “Arab Spring”-nya Barat di Jalur Sutera, lepas kendali. Ya. Jalur Sutera atau The Silk Road merupakan kawasan kaya emas, minyak, dan gas bumi. Ia adalah jalur ekonomi sekaligus jalur legenda militer dunia. Jalur yang merupakan ‘garis pembatas’ antara Dunia Barat dan Dunia Timur dimana melintang dari perbatasan Cina – Rusia hingga ke Maroko.

Kembali ke konflik Yaman. Setidaknya, ada sedikit kejanggalan pada serbuan militer Arab Saudi dkk di Yaman, karena Mesir pun ternyata terlibat sebagai agresor, kenapa? Pertanyaan ini agak sulit dijawab bila mengingat ‘kesamaan nasib politik’ antara al Sisi dan al Houthi, namun jawaban singkatnya ialah: “Kharakter dan perkembangan politik, khususnya politik global itu bersifat turbulent (tiba-tiba) dan unpredictable (sulit diramalkan)”. Tak ada kawan dan lawan abadi melainkan kepentingan. Mungkin itulah jawaban sementara guna menghindari berlarutnya diskusi, sedang hal tersebut bukanlah substasi bahasan nantinya.

Fakta lain yang mencengangkan, bahwa milisi al Houthi berhasil merebut Aden, kota pelabuhan internasional di Teluk Aden. Betapa teluk dimaksud merupakan lintasan pelayaran menuju Laut Merah, Terusan Suez dan Laut Tengah (Mediterania), jalur lalu lintas pelayaran (perdagangan) dunia. Dan selain Selat Hormuz dan Selat Malaka, Laut Merah juga dinilai sebagai chokepoint shipping in the world. Jalur sibuk pelayaran. Aden masuk dalam Bab el-Mandeb, kawasan sibuk keempat dunia karena dilintasi 3,3 juta barel setiap harinya.
Bab el-Mandeb, kawasan tersibuk keempat dalam hal lalu lintas perdagangan dunia karena dilintasi minyak 3,3 juta barel setiap harinya.
Selanjutnya, sebagai kilasan tentang kondisi lalu lintas kawasan dan jalur pelayaran, bahwa lintasan tersibuk atas kapal-kapal tanker pembawa minyak memang ada di Selat Hormuz karena mengangkut 17 juta barel per hari; tersibuk kedua ialah Selat Malaka mencapai 15 juta barel setiap hari; kemudian disusul Terusan Suez sebagai jalur tersibuk ketiga sebab dilintasi 4,5 juta barel/hari; Bab el-Mandeb termasuk kawasan sibuk keempat (3,3 jta barel); kemudian Teluk Turkey 2,4 juta barel/hari; kawasan Baku-Tbilisi-Ceyhan atau BTC pipeline sejumlah 1 juta barel/hari; Kanal Panama dilintasi 0,5 juta barel per hari, dan lain-lain.

Pertanyaan menggelitik muncul, “Berapa juta barel per hari yang melintas di Selat Sunda, Selat Lombok, dan selat-selat lain di Indonesia?” Gubernur Lemhanas pernah menyatakan, akibat faktor (takdir) geoposisi silang Indonesia di antara dua samudera dan dua benua, maka 50% perdagangan dunia melintas di jalur perairan kita.
 Melihat sistem kendali oleh Paman Sam terhadap kawasan serta jalur minyak di atas. US Central Command (USCENTCOM) misalnya, didukung oleh Armada-5 Amerika mengendalikan hilir mudik tanker-tanker minyak di Selat Hormuz dan Bab el-Mandeb; sedang Armada-7 memantau Selat Malaka; Armada-6 mengawasi Terusan Suez, Selat Turkey, BTC pipeline, dan lain-lain. Inilah sekilas mapping kendali Barat atas kawasan dan jalur-jalur minyak di seputaran perairan pada Jalur Sutera.Fakta lain lagi, bahwa milisi al Houthi adalah proxy (perpanjangan)-nya Iran yang didukung oleh Cina dan Rusia. Hal ini terbaca, bahwa konflik Yaman merupakan efek rezim bipolar ---bukan multi-polar--- namun dalam konteks antara Barat dan Timur, bukan dua negara semacam Amerika versus Uni Soviet dulu. Barat dalam hal ini adalah AS dan sekutu, sedang Timur diwakili oleh Cina, Rusia, Iran dan beberapa negara di BRICS.

“Konflik lokal bagian daripada konflik global.” Ini asumsi logis. Konflik di Yaman sebagai contoh aktual, bukanlah hanya melulu persoalan (lokal) kawasan, niscaya terkait geopolitik global. Tak bisa tidak, maka melalui asumsi ini dapat diurai hakiki skenario, bahwa pertempuran di Yaman meskipun tanpa kehadiran fisik AS dan sekutu secara nyata (kecuali Israel yang ikut penyerbuan), namun sebenarnya merupakan pertikaian antara Barat versus Cina (dan Rusia + Iran) sebagaimana peperangan di Ukraina, konflik di Syria, termasuk pula potensi konflik yang bakal meledak di Semenanjung Korea antardua Korea (Utara versus Selatan) dalam skema perebutan sistem kontrol lalu lintas perdagangan (minyak) dunia. If you would understand world geopolitic today, follow the oil, kata Deep Soat. Inilah kemasan proxy war dalam artian negara lain dijadikan “medan tempur”-nya.

Maka dapat diduga, bahwa penyebab utama serbuan militer Arab Saudi dan aliansi ke Yaman, jelas atas restu dan “suruhan” Paman Sam karena manuver milisi al Houthi sudah merambah ke Aden, Kawasan Bab el-Mandeb. Sudah barang tentu langkah Houthi amat mengusik Barat  AS yang selama ini mengontrol Teluk Aden via Armada ke 5 Amerika. Dalam perspektif hegemoni superpower, siapapun kompetitor dan berpotensi mengganggu kepentingan geopolitik serta geostrategi kawasan AS, mutlak hukumnya untuk dilemahkan dari sisi internal melalui smart power (perang nirmiliter), ataupun diserbu dengan cara hard power (kekuatan militer) baik langsung maupun secara tidak langsung via para negara proxy seperti yang kini berlangsung di Yaman.

Dengan demikian, bagi Barat krisis di Yaman kali ini mungkin dianggapnya perang termurah,  Karena selain tanpa repot mengupayakan terbitnya Resolusi PBB, juga ia tidak perlu ikut dalam invasi militer, cukup dihembuskan isue destabilisasi kawasan berkenaan konflik antarmazhab di Jalur Sutera, lantas wilayah target pun bergolak. Itulah yang sekarang terjadi.


4.Peran Asia Tenggara dalam strategi Amerika Serikat terhadap Cina
Kebangkitan pengaruh Cina di Asia Tenggara terus menguat baik secara ekonomi, politik, maupun militer. Setelah perang dingin berakhir,kekuatan serta pengaruh AS terus
berkurang dan sebaliknya Cina justru semakin memperlihatkan pengaruhnya di Asia Tenggara.
Cina memberikan tantangan yang signifikan secara ekonomi, militer dan politik tidak hanya bagi Asia Tenggara, tetapi secara tidak langsung merupakan ancaman bagi AS. Yang terdekat adalah tantangan ekonomi yang dihadapi ASEAN, dimana tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Cina membuat Cina terdorong utnuk melakukan investasi di negara-negara berkembang seperti kawasan ASEAN. Hal ini tentu saja menjadi persaingan, dimana AS juga merupakan patner penting perdagangan dan investasi
ASEAN.
Kebangkitan Cina sebagai sebuah kekuatan regional selama 10hingga 15 tahun kedepan tentu saja dapat meningkatkan intensitas kompetisi Cina – AS termasuk meningkatkan potensi konflik bersenjata. Masa depan keamanan kawasan Asia Tenggara akan terbentuk oleh beberapa faktor politik danekonomi yang saling mempengaruhi.
Fator-faktor utamanya antara lain: evolusi ekonomi Asia Tenggara, pembangunan ekonomi dan politik Cina dan interaksinya dengan Asia Tenggara, perlawanan dan mempertahankan keutuhan negara, masalah integrasi regional dan kerjasama, aktor-aktor eksternal, terutama AS, Jepang, dan Australia untuk mempengaruhi kawasan.
Tantangan lebih besar yang datang dari Cina adalah munculnya Cina sebagai aktor politik-militer. Cina terus memoderenisasi militernya dan merubah fokusnya ke kawasan Selatan, dimana secara khusus Cina sangat meningkatkan kekuatan Angkatan Lautnya, yang pada akhirnya dalam rangka fokus di Laut Cina Selatan: wilayah yang di klaim Cina sebagai teritorinya.
Bagi AS diplomasi ekonomi-politik Cina telah meningkat menjadi sangat tidak terlihat dan cerdik. Disaat Cina mempertahankan klaimnya atas pulau Spartly dan paracel yang melingkar di Laut Cina Selatan, dan menolak panggilan untuk pembicaraan multilateral mengenai konflik Spartly, Cina justru melakukan negosiasi satu per satu ke masing-masing negara yang terlibat konflik tersebut.
Adanya persaingan eksistensi antara AS dan Cina di kawasan ini, secara tidak langsung membawa Asia Tenggara kedalam politik strategi AS dalam menghadapi Cina. Ada dua ancaman militer Cina terhadap Asia Tenggara yang secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi AS dalam strateginya terhadap Cina. Dua ancaman militer konvensional dari Cina membutuhkan respon AS tersebut adalah:
Pertama, hegemoni Cina yang agresif di Asia Tenggara mengancam kebebasan pelayaran di Laut Cina Selatan, sehingga membuat AS, Jepang, bahkan negara-negara Asia Tenggara masuk dalam politik Cina tersebut.Dengan demikian AS dapat memanfaatkan kondisi tersebut dengan akan menacari dukungan dari negara-negara ASEAN untuk menjada keamanan jalur laut atau justru sebaliknya, ada kemungkinan negara-negara ASEAN sendiri yang akan meminta bantuan Angkatan Laut AS. Jika demikian maka AS dapat membawa serta Angkatan Udaranya dengan dalih untuk mrlindungi pasukan AL-nya, serta mengamankan fasilitas teritori ASEAN dari serangan militer Cina.
Situasi kedua adalah adalah Cina dapat saja mencoba membangun dan mempertahankan kontrol fisik atas hampir keseluruhan kepulauan Spartly, yang di klaim sebagai wilayahnya. Ketidakpastian di perairan Laut Cina Selatan ini tentu saja menciptakan ketegangan keamanan. Dalam kondisi tertekan seperti ini akan mendorong negara-negara ASEAN untuk mencari dukungan dari kekuatan yang dapat mengimbangi Cina. Sehingga sangat mungkin bagi ASEAN untuk meminta kehadiran militer AS yang lebih tampak dan substansial.

Pada akhirnya, kepentingan-kepentingan AS di Asia Tenggara akan terus meningkat. Mulai dari kepentingan ekonomi: Asia Tenggara sebagai patner ekspor dan impor, pasar produk dan industri jasa, dan investasi. AS juga tidak punya pilihan lain bahwa jalur Asia Tenggara akan menjadi prioritas utama untuk kelancaran perekonomiannya dan juga merupakan kawasan kunci dalam pergerakan militer AS.
Secara politis Asia Tenggara akan memberikan pengaruh yang besar dalam negara-negara kawasan ini terhadap kampanye AS tersebut akan memiliki arti yang sangat penting bagi AS. Pada akhirnya ada keharusan bagi AS untuk menghadirkan militernya di kawasan ini dalam konteks pengamanan terhadap kepentingan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar