TUGAS MENULIS OPINI DENGAN BERDASARKAN TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL
1.Soft Power
: Untuk Mengambalikan Harga Diri Bangsa
Dalam mengkaji dan menganalisis perkembangan internasional, apalagi dalam menganalisis prilaku politik luar negri negara-negara adidaya seperti AS, Cina atau Rusia, kerap muncul istilah soft power . Apakah sesungguhnya soft power?
Konsep
ini mulai dipopulerkan oleh pakar politik AS Joseph S Nye sejak 1980 melalui
dua bukunya, Bound to lead (1990) dan The Paradox of American Power
(2002).
Namun Nye mulai mendalami secara lebih serius dan rinci konsep Soft Power ini melalui bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics. Melalui bukunya ini, Nye mengartikan Soft Power sebagai Kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yaitu kemampuan memikat dan mengkooptasi (menyenangkan hati) pihak lain agar rela melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.
Namun Nye mulai mendalami secara lebih serius dan rinci konsep Soft Power ini melalui bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics. Melalui bukunya ini, Nye mengartikan Soft Power sebagai Kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yaitu kemampuan memikat dan mengkooptasi (menyenangkan hati) pihak lain agar rela melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.
Lebih lanjut Nye mengatakan bahwa soft
power suatu negaraterdapat terutama dalam tiga sumber: Kebudayaan,
Nilai-Nilai Politik, dan Kebijakan luar negerinya.Dalam pandagan Nye, soft
power sejatinya merupakan kooptasi dan dilakukan secara tidak langsung,
sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah dan dilakukan
secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai-nilai, kebudayaan,
institusi, kebijaksanaan, pendidikan, olah raga, aset ekonomi, ilmu pengetahuan
dan teknologi, dan lain-lain.
Sementara
hard power bergantung pada kekuatan militer, diplomasi koersif, atau sanksi.
Oleh karena itu hard power lebih cenderung mengakibatkan perlawanan
ketimbang soft power.Sebagai sebuah konsep yang selama ini mewarnai
kebijakan luar negeri AS disamping hard power, pandangan Nye rasanya
perlu kita kritisi juga. Keberatan saya bukan pada pengertian soft power
itu sendiri, tapi dari segi motivasinya. Karena dalam pandangan Nye, terkesan
jika AS menerapkan Soft Power, langkah politik Negeri Paman Sam itu
secara moral lebih bisa dibenarkan dibandingkan pendekatan Hard Power.
Padahal kedua-duanya, didasari tujuan dan motivasi yang sama, yaitu menjajah dan menguasai hajat hidup negara-negara yang jadi sasarannya.Maka dari itu, saya agak terganggung dengan pidato Presiden SBY pada 2005 lalu di depan para peserta US-Indonesia Society (USINDO) selang beberapa bulan setelah dilantik jadi Presiden RI. Menurut SBY, negara-negara dunia, termasuk AS, sebaiknya mengembangkan soft power ketimbang hard power
Padahal kedua-duanya, didasari tujuan dan motivasi yang sama, yaitu menjajah dan menguasai hajat hidup negara-negara yang jadi sasarannya.Maka dari itu, saya agak terganggung dengan pidato Presiden SBY pada 2005 lalu di depan para peserta US-Indonesia Society (USINDO) selang beberapa bulan setelah dilantik jadi Presiden RI. Menurut SBY, negara-negara dunia, termasuk AS, sebaiknya mengembangkan soft power ketimbang hard power
Seakan
hendak memberi pesan kepada para pembuat kebijakan luar negeri dan strategi
global AS, silahkan saja menjajah dan menguasai Indonesia selama menerapkan
pendekatan Soft Power.Padahal, pada kenyataannya soft power yang
diterapkan AS di Indonesia, sudah terbukti daya rusaknya sejak era akhir
1960-an. Seperti keluarnya UU Penanaman Modal No 1 tahun 1967 yang mengizinkan
pihak swasta asing menguasai 90 persen saham sektor-sektor strategis di
Indonesia. Keluarnya UU Migas No 22 tahuin 2001 yang telah melumpukan Pertamina
sebagai pemegang kewenangan dalam mengurus tata kelola migas di Indonesia,
jelas merupakan produk dari soft power AS.
Seharusnya wacana yang kita kembangkan dalam
membahas soft power adalah, apa yang bisa kita gali dan kembangkan dari
konsepsi Nye maupun pengembangan lebih jauh dari konsep ini, agar kita bisa
mengenali kekuatan dan keunggulan bangsa kita baik dari segi ideologi, politik,
ekonomi, sosial-budaya dan Pertahanan-Keamanan. Untuk pada perkembangannya
kemudian, konsepsi soft power ini bisa kita jadikan landasan untuk
melancarkan kontra skema dan preemtive strike terhadap bangsa-bangsa
asing yang bermaksud menjajah dan menguasai hajat hidup bangsa kita baik secara
material maupun immaterial.
Dengan begitu, ke depan Indonesia tidak hanya
mengamati dan menelaah atau meneropong dunia internasional. Melainkan juga
menyusun sebuah kekuatan gagasan untuk menulis, memahami, menyadari serta
menganalisis sejarah dunia. Bahkan, membuat sejarah dunia baru dengan menyusun
beberapa skenariio sebagai landasan pemerintah menyusun kebijakan strategis
dalam politik luar negeri.
Pada tataran ini, konsepsi Nye mengenai tiga
sumber yang menjadi tumpuan pendekatan soft power (kebudayaan,
nilai-nilai dan kebijakan luar negeri) bisa kita jadikan dasar untuk
menjabarkan kepentingan nasional kita secara lebih nyata dan rinci.Dengan
begitu, soft power yang kita kembangkan tidak dalam kerangka melayani
kepentingan-kepentingna negara-negara adidaya, melainkan justru untuk
melancarkan kontra skema atas rencana-rencana tersembunyi mereka.Karena di era
pemerintahan SBY, nampak jelas bahwa politik luar negeri kita sama sekali tidak
menerapkan soft power maupun hard power, karena tujuan dan arah kebijakan luar
negeri kita tidak jelas.
Padahal dalam menyusun strategi global maupun
kebijakan luar negeri, seharusnya mengintegrasikan tiga faktor yang bertaut
satu sama lain alias bersenyawa: Faktor Strategis, Faktor Ekonomi dan Faktor
Budaya. Tanpa mempertautkan tiga faktor ini, strategi global dan kebijakan luar
negeri suatu negara jadi omong kosong belaka.Saat ini, Indonesia sudah waktunya
untuk memainkan pendekatan soft power dalam ikut serta memainkan peran
strategisnya di dunia internasional, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Dan
kita, punya beberapa keunggulan geopolitik yang sebenarnya tak tergantikan oleh
negara-negara lain:
1. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia.
2. Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia
3. Negara keempat terbesar di dunia
4. Pendiri dan Pelopor Solidaritas Asia-Afrika dan Gerakan NonBlok
5. Motor Penggerak dan mitra senior negara-negara ASEAN.
6. Memiliki kekayaan sumberdaya alam maupun khazanah budaya dan intelektual.
1. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia.
2. Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia
3. Negara keempat terbesar di dunia
4. Pendiri dan Pelopor Solidaritas Asia-Afrika dan Gerakan NonBlok
5. Motor Penggerak dan mitra senior negara-negara ASEAN.
6. Memiliki kekayaan sumberdaya alam maupun khazanah budaya dan intelektual.
Saya kira melalui kekuatan dan keunggulan
kita inilah, soft power sebagai landasan untuk menyusun strategi global
Indonesia sudah bisa kita mulai.
2.Terorisme Sebagai Non-State Actor dalam Study Hubungan Internasional
Aktor
non-negara (non-state actor) merupakan suatu aktor yang memiliki peranan
penting dalam studi Hubungan Internasional (HI). Walaupun aktor non-negara ini
hanya diakui oleh orang-orang berpandangan liberalis dan sebagian lainnya
merupakan neo-realis, hal tersebut tidak menyebabkan peranan aktor non-negara
menjadi hilang ditengah-tengah eksistensi negara yang menurut orang-orang
realis berperan sebagai peran tunggal dalam HI. Semua hal tersebut tidak dapat
dipisahkan dari sudut pandang masing-masing yang diambil oleh para ahli dalam
melakukan observasi mengenai peran-peran dalam HI.
Namun
ditengah globalisasi yang menjangkit masyarakat abad 21 ini, saya cenderung
setuju terhadap pandangan orang-orang liberal mengenai eksistensi aktor
non-negara dalam HI. Globalisasi sendiri menurut Beck (2000 dalam Global
Politics) merupakan proses dimana negara-bangsa yang berdaulat menjadi simpang
siur dan kacau karena aktor transnasional dengan bermacam-macam kemungkinan
power, orientasi, identitas dan jaringan. Pengertian tersebut telah menunjukkan
bahwa globalisasi adalah suatu serangan terhadap eksistensi negara sebagai
peran utama oleh aktor transnasional yang dalam hal ini adalah aktor
non-negara.
Aktor
non-negara terdiri dari bermacam jenis, seperti Transnational Corporations
(TNCs), Multinational Corporations (MNC), Non-Govermental Organizations (NGOs),
International-Govermental Organizations (INGOs), organisasi teroris dan maupun
kelompok kejahatan transnasional. Jenis-jenis tersebut merupakan aktor
non-negara yang mainstream dibahas dalam literatur-literatur HI.
kelompok dan
organisasi teroris merupakan salah satu aktor non-negara yang cukup
menggemparkan dunia internasional pada kejadian 11 September 2001. Walaupun
sebenarnya kejadian-kejadian teroris sudah ada semenjak Revolusi Perancis
dimana Robespierre pada masa kepemimpinannya telah membunuh sekitar 40.000
orang-orang yang menentang revolusi. Atau jika kita ingin memajukan waktu ke
depan sedikit maka kita akan menemui Black Hand, sebuah organisasi nasionalis
di Serbia yang menyebabkan perang dunia pertama meledak karena tindakan terorismenya
dengan membunuh Franz Ferdinand, keponakan Raja Austria pada saat itu.
Terorisme
sejatinya didefinisikan sebagai bentuk kekerasan politik yang mengincar dan
mencapai tujuan melalui dengan cara-cara menciptakan ketakutan dan keprihatinan
(Goodin 2006 dalam Global Politics). Terorisme sejatinya merupakan konsep yang
buram. Kebanyakan merupakan sebuah justifikasi moral terhadap suatu tindakan
yang menyebabkan ketakutan karena berlawanan dengan nilai-nilai seorang
justifikator. Misalnya, orang Amerika menyebut tindakan Al Qaeda sebagai
tindakan terorisme ketika mengebom gedung WTC pada kejadian 9/11. Hal tersebut
terjadi karena orang Amerika merasa bahwa pengeboman itu merupakan sesuatu yang
memunculkan ketakutan dengan cara tidak wajar (tiba-tiba melakukan serangan
tanpa ada motif yang jelas, berbeda jika kondisinya adalah perang) dan
bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Di lain pihak, Al Qaeda
menganggap bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang benar karena
sesuai dengan konsep jihad yang diajarkan –walaupun sebenarnya Islam tidak
mengajarkan apa yang Al Qaeda lakukan– oleh agama mereka.
Apa yang Al
Qaeda lakukan ternyata mendapatkan respon keras dari Presiden Amerika saat itu,
George W. Bush yang menyatakan bahwa mereka sedang berada pada “perang melawan
terorisme.” Istilah yang digunakan Bush banyak dikritik oleh para ahli termasuk
Andrew Heywood, karena terorisme bukanlah musuh yang memiliki wujud nyata,
seperti misalnya negara, organisasi ataupun seorang individu. Tapi bukanlah hal
tersebut yang akan kita bahas, melainkan bagaimana aktor non-negara seperti
kelompok teroris dapat membuat negara melakukan kebijakan yang signifikan,
seperti halnya setelah itu Bush kemudian memerintahkan tentaranya untuk
menyerbu Irak. Walaupun banyak faktor lainnya mengapa Irak harus diserbu,
setidaknya hal ini menunjukkan bahwa gerakan terorisme dapat mempengaruhi
negara, bahkan dapat menyerang kedaulatan negara. Contohnya saja IS yang
kemudian dapat menguasai ladang-ladang minyak dan bank di Irak. Sampai saat ini
bahkan dengan persenjataan yang lebih mumpuni, negara-negara yang berkoalisi
dalam melawan IS masih belum bisa meniadakan atau menghancurkan IS. Jika
melihat fenomena tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa kelompok teroris
ternyata memiliki kekuatan seperti negara.
Pada
akhirnya kita tidak dapat meremehkan aktor non-negara dalam HI karena peran
yang dilakukan dapat mempengaruhi banyak hal terhadap peran utama HI, yaitu
negara. Kelompok teroris kini menjadi salah satu aktor non-negara yang
signifikan sehingga tidak dapat diabaikan dalam studi Hubungan Internasional.
3.Membaca
Krisis Yaman dari Perspektif Geopolitik dan Kawasan
Yaman di
tengah gempuran militer Arab Saudi dan aliansi Gulf Cooperation Council (GCC)
atau Dewan Kerjasama Teluk, termasuk ada militer Sudan di dalamnya, juga Mesir,
ada Maroko, dll bahkan Israel, ibarat menembak target sasaran yang bergerak.
Artinya, akurasi telaah pasti cenderung bergerak, nisbi, atau relatif. Apalagi
jika pisau analisa hanya berbasis atas konflik antarmazhab, atau pertikaian
aliran dalam agama (Islam), kemungkinan kadar akurasinya jauh dari harapan,
mengingat konflik apapun di muka bumi terutama konflik berskala besar sifatnya
hanya “tema” belaka, karena niscaya tersimpan hidden agenda serta
bercokol “skema” lain yang hendak ditancapkan. All warfare is deception,
kata Sun Tzu. “Semua perang adalah tipuan.” Namun kendati sebatas tema tipuan Skala
krisis di Yaman bukanlah konflik mikro yang dapat diselesaikan melalui
perjanjian damai, rekonsiliasi, atau islah, namun konflik dimaksud memiliki
dimensi makro (geopolitik, geostrategi dan geoekonomi) oleh karena terkait
hegemoni superpower dan niscaya tersirat kepentingan para adidaya. Nah,
tulisan ini coba mem-breakdown perang tersebut dari perspektif geopolitik
dan kawasan,
Bahwa
kawasan sebagai keadaan atau kondisi statis merupakan kepingan puzzle agar
kajian tidak meluas kemana-mana, selain perilaku geopolitik (para adidaya)
kerapkali memetakan (mapping) kawasan sebagai obyek atau sasaran
kolonialisme. Dan kawasan itu sendiri, dalam perspektif hegemoni adidaya juga
sering ditempatkan sebagai pijakan bagi geostrategi dalam rangka menguasai
kawasan-kawasan lain (geoekonomi). Inilah kemasan kolonialisme di muka bumi.
Sedangkan alasan kenapa geopolitik dijadikan pisau bedah menguak peristiwa ini, memang ia lazim digunakan oleh kalangan global review sebab sifatnya multi dimensi, lintas ilmu, serta mampu menguak hal tersirat daripada yang tersurat, ataupun dapat melihat latar ‘mengapa krisis terjadi’ bukannya sebatas pada kajian ‘apa yang tengah terjadi’.Tak ada maksud menggurui siapapun dalam kajian ini selain sharing wawasan (bukan cuma kedalaman) semata. Bila ada perbedaan perdapat baik arti, maksud dan makna, mohon dimaklumi. Artinya bila ditemui perbedaan nantinya, anggap sebagai kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam untuk mengurai kebenaran sesungguhnya, bukan malah timbul syak wasangka, dan sebagainya apalagi sampai memunculkan rasa saling curiga. Inilah uraiannya secara garis besar lagi sederhana.
Sedangkan alasan kenapa geopolitik dijadikan pisau bedah menguak peristiwa ini, memang ia lazim digunakan oleh kalangan global review sebab sifatnya multi dimensi, lintas ilmu, serta mampu menguak hal tersirat daripada yang tersurat, ataupun dapat melihat latar ‘mengapa krisis terjadi’ bukannya sebatas pada kajian ‘apa yang tengah terjadi’.Tak ada maksud menggurui siapapun dalam kajian ini selain sharing wawasan (bukan cuma kedalaman) semata. Bila ada perbedaan perdapat baik arti, maksud dan makna, mohon dimaklumi. Artinya bila ditemui perbedaan nantinya, anggap sebagai kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam untuk mengurai kebenaran sesungguhnya, bukan malah timbul syak wasangka, dan sebagainya apalagi sampai memunculkan rasa saling curiga. Inilah uraiannya secara garis besar lagi sederhana.
Yaman adalah
negeri kaya minyak dan emas, namun hingga kini rakyatnya miskin,Karena yang
mengeruk keuntungan justru perusahaan-perusaan asing yang mengelola sumberdaya
alam (SDA)-nya.” Inilah data dan fakta riil. Sama dengan Indonesia. Berulang
ganti elit kekuasaan dalam beberapa dasawarsa pun tidak mampu membuat rakyatnya
berdaya, tak jua bangkit dari kemiskinan.
Dalam “Musim
Semi Arab” atau Arab Spring era 2011-an kemarin misalnya, Yaman pun kembali
bergolak sehingga Ali Abdullah Saleh terjungkal dari kepresidenan lalu
digantikan Mansour Hadi, si “boneka” asing dan pro Barat. Tidak boleh
dipungkiri memang, fenomena Kebangkitan Islam tampaknya bersemi di tengah Musim
Semi Arab itu sendiri. Di tengah geliat aksi massa, rakyat tidak cuma meminta
ganti rezim, tetapi juga ingin ganti sistem, dsb. Itulah tampak luar atas ruh
Kebangkitan Islam.
Peperangan
asimetris atau populer disebut asymmetric warfare bertajuk Arab
Spring dalam model gerakan massa yang digelar oleh Barat (Amerika/AS dan
sekutu) di Jalur Sutera ---akibat Kebangkitan Islam--- menjadi out of
control (lepas kendali). Di Mesir misalnya, Mohamad Morsi yang mengganti
Hosni Mobarak meski riil buah dari gerakan massa (demokrasi) ala Barat,
akhirnya toh didongkel oleh junta militer pimpinan Jenderal al Sisi. Agaknya
hal serupa terjadi di Yaman, karena Mansour Hadi ---si boneka Barat--- seperti
halnya Morsi di Mesir, ia pun dijatuhkan dari kekuasaan oleh milisi atau
pasukan al Houthi.Milisi al Houthi sebenarnya (dianggap rakyat) bukan
pemberontak di Yaman meski media-media mainstrem menyebutnya pemberontak,
kenapa? Bahwa cap dan stigma ‘pemberontak’ terhadap al Houthi, lebih disebabkan
faktor berseberangan (‘ideologi’) dengan Arab Saudi, si ketua GCC. Ya, al
Houthi bermazhab syiah, sementara Arab Saudi merupakan rezim wahabi dan sunni.
Namun di luar pertikaian tersurat sekali lagi, “tema”di atas permukaan tadi
(entah antara syiah versus sunni, atau wahabi versus non wahabi dsb), al Houthi
didukung oleh para pemilih syah di Yaman.
Secara
fisik, bahwa antara al Sisi di Mesir dengan al Houthi di Yaman ada ‘kesamaan
nasib politik’ karena keduanya adalah side effect (dampak samping) atas
Kebangkitan Islam yang mengakibatkan “Arab Spring”-nya Barat di Jalur Sutera,
lepas kendali. Ya. Jalur Sutera atau The Silk Road merupakan kawasan kaya emas,
minyak, dan gas bumi. Ia adalah jalur ekonomi sekaligus jalur legenda militer
dunia. Jalur yang merupakan ‘garis pembatas’ antara Dunia Barat dan Dunia Timur
dimana melintang dari perbatasan Cina – Rusia hingga ke Maroko.
Kembali ke konflik Yaman. Setidaknya, ada
sedikit kejanggalan pada serbuan militer Arab Saudi dkk di Yaman, karena Mesir
pun ternyata terlibat sebagai agresor, kenapa? Pertanyaan ini agak sulit
dijawab bila mengingat ‘kesamaan nasib politik’ antara al Sisi dan al Houthi,
namun jawaban singkatnya ialah: “Kharakter dan perkembangan politik, khususnya
politik global itu bersifat turbulent (tiba-tiba) dan unpredictable
(sulit diramalkan)”. Tak ada kawan dan lawan abadi melainkan kepentingan.
Mungkin itulah jawaban sementara guna menghindari berlarutnya diskusi, sedang
hal tersebut bukanlah substasi bahasan nantinya.
Fakta lain yang mencengangkan, bahwa milisi al Houthi berhasil merebut Aden, kota pelabuhan internasional di Teluk Aden. Betapa teluk dimaksud merupakan lintasan pelayaran menuju Laut Merah, Terusan Suez dan Laut Tengah (Mediterania), jalur lalu lintas pelayaran (perdagangan) dunia. Dan selain Selat Hormuz dan Selat Malaka, Laut Merah juga dinilai sebagai chokepoint shipping in the world. Jalur sibuk pelayaran. Aden masuk dalam Bab el-Mandeb, kawasan sibuk keempat dunia karena dilintasi 3,3 juta barel setiap harinya.Bab el-Mandeb, kawasan tersibuk keempat dalam hal lalu lintas perdagangan dunia karena dilintasi minyak 3,3 juta barel setiap harinya.
Fakta lain yang mencengangkan, bahwa milisi al Houthi berhasil merebut Aden, kota pelabuhan internasional di Teluk Aden. Betapa teluk dimaksud merupakan lintasan pelayaran menuju Laut Merah, Terusan Suez dan Laut Tengah (Mediterania), jalur lalu lintas pelayaran (perdagangan) dunia. Dan selain Selat Hormuz dan Selat Malaka, Laut Merah juga dinilai sebagai chokepoint shipping in the world. Jalur sibuk pelayaran. Aden masuk dalam Bab el-Mandeb, kawasan sibuk keempat dunia karena dilintasi 3,3 juta barel setiap harinya.Bab el-Mandeb, kawasan tersibuk keempat dalam hal lalu lintas perdagangan dunia karena dilintasi minyak 3,3 juta barel setiap harinya.
Selanjutnya,
sebagai kilasan tentang kondisi lalu lintas kawasan dan jalur pelayaran, bahwa
lintasan tersibuk atas kapal-kapal tanker pembawa minyak memang ada di Selat
Hormuz karena mengangkut 17 juta barel per hari; tersibuk kedua ialah Selat
Malaka mencapai 15 juta barel setiap hari; kemudian disusul Terusan Suez
sebagai jalur tersibuk ketiga sebab dilintasi 4,5 juta barel/hari; Bab
el-Mandeb termasuk kawasan sibuk keempat (3,3 jta barel); kemudian Teluk Turkey
2,4 juta barel/hari; kawasan Baku-Tbilisi-Ceyhan atau BTC pipeline sejumlah 1
juta barel/hari; Kanal Panama dilintasi 0,5 juta barel per hari, dan lain-lain.
Pertanyaan menggelitik muncul, “Berapa juta barel per hari yang melintas di Selat Sunda, Selat Lombok, dan selat-selat lain di Indonesia?” Gubernur Lemhanas pernah menyatakan, akibat faktor (takdir) geoposisi silang Indonesia di antara dua samudera dan dua benua, maka 50% perdagangan dunia melintas di jalur perairan kita.
Pertanyaan menggelitik muncul, “Berapa juta barel per hari yang melintas di Selat Sunda, Selat Lombok, dan selat-selat lain di Indonesia?” Gubernur Lemhanas pernah menyatakan, akibat faktor (takdir) geoposisi silang Indonesia di antara dua samudera dan dua benua, maka 50% perdagangan dunia melintas di jalur perairan kita.
Melihat sistem kendali oleh Paman Sam terhadap
kawasan serta jalur minyak di atas. US Central Command (USCENTCOM)
misalnya, didukung oleh Armada-5 Amerika mengendalikan hilir mudik
tanker-tanker minyak di Selat Hormuz dan Bab el-Mandeb; sedang Armada-7
memantau Selat Malaka; Armada-6 mengawasi Terusan Suez, Selat Turkey, BTC pipeline,
dan lain-lain. Inilah sekilas mapping kendali Barat atas kawasan dan
jalur-jalur minyak di seputaran perairan pada Jalur Sutera.Fakta lain lagi,
bahwa milisi al Houthi adalah proxy (perpanjangan)-nya Iran yang
didukung oleh Cina dan Rusia. Hal ini terbaca, bahwa konflik Yaman merupakan
efek rezim bipolar ---bukan multi-polar--- namun dalam konteks antara Barat dan
Timur, bukan dua negara semacam Amerika versus Uni Soviet dulu. Barat dalam hal
ini adalah AS dan sekutu, sedang Timur diwakili oleh Cina, Rusia, Iran dan
beberapa negara di BRICS.
“Konflik lokal bagian daripada konflik global.” Ini asumsi logis. Konflik di Yaman sebagai contoh aktual, bukanlah hanya melulu persoalan (lokal) kawasan, niscaya terkait geopolitik global. Tak bisa tidak, maka melalui asumsi ini dapat diurai hakiki skenario, bahwa pertempuran di Yaman meskipun tanpa kehadiran fisik AS dan sekutu secara nyata (kecuali Israel yang ikut penyerbuan), namun sebenarnya merupakan pertikaian antara Barat versus Cina (dan Rusia + Iran) sebagaimana peperangan di Ukraina, konflik di Syria, termasuk pula potensi konflik yang bakal meledak di Semenanjung Korea antardua Korea (Utara versus Selatan) dalam skema perebutan sistem kontrol lalu lintas perdagangan (minyak) dunia. If you would understand world geopolitic today, follow the oil, kata Deep Soat. Inilah kemasan proxy war dalam artian negara lain dijadikan “medan tempur”-nya.
Maka dapat diduga, bahwa penyebab utama serbuan militer Arab Saudi dan aliansi ke Yaman, jelas atas restu dan “suruhan” Paman Sam karena manuver milisi al Houthi sudah merambah ke Aden, Kawasan Bab el-Mandeb. Sudah barang tentu langkah Houthi amat mengusik Barat AS yang selama ini mengontrol Teluk Aden via Armada ke 5 Amerika. Dalam perspektif hegemoni superpower, siapapun kompetitor dan berpotensi mengganggu kepentingan geopolitik serta geostrategi kawasan AS, mutlak hukumnya untuk dilemahkan dari sisi internal melalui smart power (perang nirmiliter), ataupun diserbu dengan cara hard power (kekuatan militer) baik langsung maupun secara tidak langsung via para negara proxy seperti yang kini berlangsung di Yaman.
“Konflik lokal bagian daripada konflik global.” Ini asumsi logis. Konflik di Yaman sebagai contoh aktual, bukanlah hanya melulu persoalan (lokal) kawasan, niscaya terkait geopolitik global. Tak bisa tidak, maka melalui asumsi ini dapat diurai hakiki skenario, bahwa pertempuran di Yaman meskipun tanpa kehadiran fisik AS dan sekutu secara nyata (kecuali Israel yang ikut penyerbuan), namun sebenarnya merupakan pertikaian antara Barat versus Cina (dan Rusia + Iran) sebagaimana peperangan di Ukraina, konflik di Syria, termasuk pula potensi konflik yang bakal meledak di Semenanjung Korea antardua Korea (Utara versus Selatan) dalam skema perebutan sistem kontrol lalu lintas perdagangan (minyak) dunia. If you would understand world geopolitic today, follow the oil, kata Deep Soat. Inilah kemasan proxy war dalam artian negara lain dijadikan “medan tempur”-nya.
Maka dapat diduga, bahwa penyebab utama serbuan militer Arab Saudi dan aliansi ke Yaman, jelas atas restu dan “suruhan” Paman Sam karena manuver milisi al Houthi sudah merambah ke Aden, Kawasan Bab el-Mandeb. Sudah barang tentu langkah Houthi amat mengusik Barat AS yang selama ini mengontrol Teluk Aden via Armada ke 5 Amerika. Dalam perspektif hegemoni superpower, siapapun kompetitor dan berpotensi mengganggu kepentingan geopolitik serta geostrategi kawasan AS, mutlak hukumnya untuk dilemahkan dari sisi internal melalui smart power (perang nirmiliter), ataupun diserbu dengan cara hard power (kekuatan militer) baik langsung maupun secara tidak langsung via para negara proxy seperti yang kini berlangsung di Yaman.
Dengan
demikian, bagi Barat krisis di Yaman kali ini mungkin dianggapnya perang
termurah, Karena selain tanpa repot
mengupayakan terbitnya Resolusi PBB, juga ia tidak perlu ikut dalam invasi
militer, cukup dihembuskan isue destabilisasi kawasan berkenaan konflik
antarmazhab di Jalur Sutera, lantas wilayah target pun bergolak. Itulah yang
sekarang terjadi.
4.Peran Asia Tenggara dalam strategi Amerika Serikat terhadap Cina
Kebangkitan
pengaruh Cina di Asia Tenggara terus menguat baik secara ekonomi, politik,
maupun militer. Setelah perang dingin berakhir,kekuatan serta pengaruh AS
terus
berkurang dan sebaliknya Cina justru semakin memperlihatkan pengaruhnya di Asia Tenggara.
berkurang dan sebaliknya Cina justru semakin memperlihatkan pengaruhnya di Asia Tenggara.
Cina
memberikan tantangan yang signifikan secara ekonomi, militer dan politik tidak
hanya bagi Asia Tenggara, tetapi secara tidak langsung merupakan ancaman bagi
AS. Yang terdekat adalah tantangan ekonomi yang dihadapi ASEAN, dimana
tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Cina membuat Cina terdorong utnuk
melakukan investasi di negara-negara berkembang seperti kawasan ASEAN. Hal ini
tentu saja menjadi persaingan, dimana AS juga merupakan patner penting
perdagangan dan investasi
ASEAN.
Kebangkitan
Cina sebagai sebuah kekuatan regional selama 10hingga 15 tahun kedepan tentu
saja dapat meningkatkan intensitas kompetisi Cina – AS termasuk meningkatkan
potensi konflik bersenjata. Masa depan keamanan kawasan Asia Tenggara akan
terbentuk oleh beberapa faktor politik danekonomi yang saling mempengaruhi.
Fator-faktor utamanya antara lain: evolusi ekonomi Asia Tenggara, pembangunan ekonomi dan politik Cina dan interaksinya dengan Asia Tenggara, perlawanan dan mempertahankan keutuhan negara, masalah integrasi regional dan kerjasama, aktor-aktor eksternal, terutama AS, Jepang, dan Australia untuk mempengaruhi kawasan.
Fator-faktor utamanya antara lain: evolusi ekonomi Asia Tenggara, pembangunan ekonomi dan politik Cina dan interaksinya dengan Asia Tenggara, perlawanan dan mempertahankan keutuhan negara, masalah integrasi regional dan kerjasama, aktor-aktor eksternal, terutama AS, Jepang, dan Australia untuk mempengaruhi kawasan.
Tantangan
lebih besar yang datang dari Cina adalah munculnya Cina sebagai aktor
politik-militer. Cina terus memoderenisasi militernya dan merubah fokusnya ke
kawasan Selatan, dimana secara khusus Cina sangat meningkatkan kekuatan
Angkatan Lautnya, yang pada akhirnya dalam rangka fokus di Laut Cina Selatan:
wilayah yang di klaim Cina sebagai teritorinya.
Bagi AS
diplomasi ekonomi-politik Cina telah meningkat menjadi sangat tidak terlihat
dan cerdik. Disaat Cina mempertahankan klaimnya atas pulau Spartly dan paracel
yang melingkar di Laut Cina Selatan, dan menolak panggilan untuk pembicaraan
multilateral mengenai konflik Spartly, Cina justru melakukan negosiasi satu per
satu ke masing-masing negara yang terlibat konflik tersebut.
Adanya persaingan eksistensi antara AS dan Cina di kawasan ini, secara tidak langsung membawa Asia Tenggara kedalam politik strategi AS dalam menghadapi Cina. Ada dua ancaman militer Cina terhadap Asia Tenggara yang secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi AS dalam strateginya terhadap Cina. Dua ancaman militer konvensional dari Cina membutuhkan respon AS tersebut adalah:
Pertama, hegemoni Cina yang agresif di Asia Tenggara mengancam kebebasan pelayaran di Laut Cina Selatan, sehingga membuat AS, Jepang, bahkan negara-negara Asia Tenggara masuk dalam politik Cina tersebut.Dengan demikian AS dapat memanfaatkan kondisi tersebut dengan akan menacari dukungan dari negara-negara ASEAN untuk menjada keamanan jalur laut atau justru sebaliknya, ada kemungkinan negara-negara ASEAN sendiri yang akan meminta bantuan Angkatan Laut AS. Jika demikian maka AS dapat membawa serta Angkatan Udaranya dengan dalih untuk mrlindungi pasukan AL-nya, serta mengamankan fasilitas teritori ASEAN dari serangan militer Cina.
Situasi kedua adalah adalah Cina dapat saja mencoba membangun dan mempertahankan kontrol fisik atas hampir keseluruhan kepulauan Spartly, yang di klaim sebagai wilayahnya. Ketidakpastian di perairan Laut Cina Selatan ini tentu saja menciptakan ketegangan keamanan. Dalam kondisi tertekan seperti ini akan mendorong negara-negara ASEAN untuk mencari dukungan dari kekuatan yang dapat mengimbangi Cina. Sehingga sangat mungkin bagi ASEAN untuk meminta kehadiran militer AS yang lebih tampak dan substansial.
Adanya persaingan eksistensi antara AS dan Cina di kawasan ini, secara tidak langsung membawa Asia Tenggara kedalam politik strategi AS dalam menghadapi Cina. Ada dua ancaman militer Cina terhadap Asia Tenggara yang secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi AS dalam strateginya terhadap Cina. Dua ancaman militer konvensional dari Cina membutuhkan respon AS tersebut adalah:
Pertama, hegemoni Cina yang agresif di Asia Tenggara mengancam kebebasan pelayaran di Laut Cina Selatan, sehingga membuat AS, Jepang, bahkan negara-negara Asia Tenggara masuk dalam politik Cina tersebut.Dengan demikian AS dapat memanfaatkan kondisi tersebut dengan akan menacari dukungan dari negara-negara ASEAN untuk menjada keamanan jalur laut atau justru sebaliknya, ada kemungkinan negara-negara ASEAN sendiri yang akan meminta bantuan Angkatan Laut AS. Jika demikian maka AS dapat membawa serta Angkatan Udaranya dengan dalih untuk mrlindungi pasukan AL-nya, serta mengamankan fasilitas teritori ASEAN dari serangan militer Cina.
Situasi kedua adalah adalah Cina dapat saja mencoba membangun dan mempertahankan kontrol fisik atas hampir keseluruhan kepulauan Spartly, yang di klaim sebagai wilayahnya. Ketidakpastian di perairan Laut Cina Selatan ini tentu saja menciptakan ketegangan keamanan. Dalam kondisi tertekan seperti ini akan mendorong negara-negara ASEAN untuk mencari dukungan dari kekuatan yang dapat mengimbangi Cina. Sehingga sangat mungkin bagi ASEAN untuk meminta kehadiran militer AS yang lebih tampak dan substansial.
Pada
akhirnya, kepentingan-kepentingan AS di Asia Tenggara akan terus meningkat.
Mulai dari kepentingan ekonomi: Asia Tenggara sebagai patner ekspor dan impor,
pasar produk dan industri jasa, dan investasi. AS juga tidak punya pilihan lain
bahwa jalur Asia Tenggara akan menjadi prioritas utama untuk kelancaran
perekonomiannya dan juga merupakan kawasan kunci dalam pergerakan militer AS.
Secara politis Asia Tenggara akan memberikan pengaruh yang besar dalam negara-negara kawasan ini terhadap kampanye AS tersebut akan memiliki arti yang sangat penting bagi AS. Pada akhirnya ada keharusan bagi AS untuk menghadirkan militernya di kawasan ini dalam konteks pengamanan terhadap kepentingan tersebut.
Secara politis Asia Tenggara akan memberikan pengaruh yang besar dalam negara-negara kawasan ini terhadap kampanye AS tersebut akan memiliki arti yang sangat penting bagi AS. Pada akhirnya ada keharusan bagi AS untuk menghadirkan militernya di kawasan ini dalam konteks pengamanan terhadap kepentingan tersebut.